DAUN KEDONDONG

Fakta Ilmiah di Balik Daun Kedondong, Mengapa Tak Selalu Ampuh untuk Infeksi Jamur Kulit

Fikes.Umsida.ac.id– Di tengah maraknya tren pengobatan herbal, daun kedondong (Spondias dulcis) sering disebut-sebut sebagai tanaman ajaib yang punya banyak khasiat, termasuk untuk membasmi infeksi jamur kulit.

Baca Juga: Ekstrak Bonggol Nanas Terbukti Menurunkan Glukosa Darah Berdasarkan Uji Eksperimen TLM Umsida

Tapi, benarkah kepercayaan ini didukung bukti ilmiah? Tim penelitian dari Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Fikes Umsida) Givari Dwi Nirosa, Puspitasari Puspitasari mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa ekstrak daun kedondong tidak mampu menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum, penyebab utama penyakit kurap, panu, dan tinea pedis.

Ini menjadi peringatan penting agar kita tak terjebak mitos, dan mulai menimbang ulang pemilihan obat berdasarkan riset yang teruji.

Daun Kedondong: Kaya Kandungan, Belum Tentu Ampuh

Daun kedondong dikenal mengandung flavonoid, saponin, alkaloid, dan tannin senyawa bioaktif yang dipercaya memiliki kemampuan sebagai antibakteri, antioksidan, bahkan antifungi.

Sejumlah penelitian sebelumnya memang menunjukkan potensi antifungi daun ini terhadap jamur seperti Aspergillus flavus. Tak heran, banyak orang menggunakannya sebagai obat alami untuk infeksi kulit.

Namun, perlu dicermati bahwa klaim manfaat herbal tidak bisa digeneralisasi untuk semua jenis infeksi. Untuk membuktikan efektivitas spesifik terhadap jamur penyebab kurap, dua peneliti dari Prodi D-IV Teknologi Laboratorium Medis Fikes Umsida, yaitu Givari Dwi Nirosa dan Puspitasari, melakukan riset laboratorium in vitro terhadap Trichophyton rubrum.

Trichophyton rubrum adalah jenis jamur dermatofita yang menyerang kulit, rambut, dan kuku, dan merupakan penyebab utama dermatofitosis di Indonesia maupun Asia.

Penyakit ini menyebar luas terutama di daerah tropis dengan kelembapan tinggi seperti Indonesia. Maka, pengembangan alternatif pengobatan jamur menjadi urgensi tersendiri di dunia kesehatan masyarakat.

Uji Laboratorium: Tak Ada Zona Hambat pada Ekstrak Daun Kedondong
Daun Kedondong
Sumber: AI

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Medicra ini menggunakan metode eksperimental dengan ekstrak daun kedondong dalam empat konsentrasi: 20%, 40%, 80%, dan 100%. Semua konsentrasi diuji terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum yang dibiakkan di media Sabouraud Dextrose Agar (SDA).

Sebagai pembanding, peneliti juga menyertakan dua kontrol:

Kontrol negatif menggunakan DMSO 10% (pelarut) yang memang tidak memengaruhi jamur.
Kontrol positif menggunakan obat antifungi terbinafin yang secara klinis sudah terbukti ampuh.

Hasilnya sangat jelas:

Semua konsentrasi ekstrak daun kedondong tidak menunjukkan zona hambat terhadap jamur Trichophyton rubrum.
Sementara itu, terbinafin mencatat zona hambat rata-rata sebesar 77 mm, membuktikan efektivitasnya sebagai pengendali pertumbuhan jamur.

Dengan demikian, ekstrak daun kedondong dinyatakan tidak memiliki efek antifungi terhadap Trichophyton rubrum secara in vitro. Temuan ini sekaligus menepis klaim bahwa semua tanaman berkhasiat tinggi bisa secara otomatis menjadi solusi penyembuh penyakit jamur.

Edukasi Penting: Tak Semua Herbal Layak Dijadikan Obat

Hasil penelitian ini membawa pesan penting bagi masyarakat dan dunia medis: pengobatan herbal harus berbasis bukti ilmiah, bukan sekadar tradisi atau asumsi turun-temurun. Meskipun daun kedondong terbukti mengandung senyawa bioaktif, efektivitasnya perlu diuji secara spesifik untuk tiap jenis infeksi atau mikroorganisme.

Adanya anggapan “yang alami pasti aman dan ampuh” ternyata bisa menjadi bumerang jika tidak disertai pemahaman dan pengujian yang tepat.

Infeksi jamur seperti kurap, panu, atau kutu air bisa bertambah parah jika penanganan dilakukan secara sembarangan. Dalam kasus Trichophyton rubrum, terbukti bahwa penggunaan daun kedondong tidak memberikan dampak berarti dalam menekan pertumbuhan jamur.

Faktor-faktor seperti kondisi tanaman, metode ekstraksi, dan tingkat virulensi jamur juga menjadi penentu efektivitas senyawa herbal. Oleh karena itu, para peneliti Fikes Umsida menekankan pentingnya riset lanjut dan edukasi publik agar masyarakat tidak mudah percaya pada klaim herbal yang belum terbukti.

Baca Juga: OSCE Jadi Langkah Strategis TLM Umsida Mencetak Tenaga Laboratorium Medis yang Terstandar

Penelitian Givari Dwi Nirosa dan Puspitasari dari Fikes Umsida ini menjadi bukti bahwa pendekatan ilmiah terhadap pengobatan tradisional sangat diperlukan di era informasi yang serba cepat. Edukasi masyarakat soal efektivitas obat herbal, terutama untuk infeksi kulit yang menular, harus terus digencarkan agar tidak menimbulkan harapan palsu atau bahkan efek merugikan.

Sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan evidence-based health science, FIKES Umsida terus mendorong inovasi dan validasi ilmiah atas kekayaan alam Indonesia agar benar-benar memberi manfaat nyata bagi kesehatan masyarakat.

Sumber: Puspitasari

Penulis: Novia